Gaza kembali menjadi saksi penderitaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Di setiap sudut pengungsian, tubuh-tubuh mungil tergeletak lemah. Anak-anak seharusnya berlari riang, namun di tanah yang dilanda blokade, mereka hanya mampu berbaring dengan tatapan kosong. Lebih menyedihkan lagi, banyak di antara mereka kelaparan sampai suara tangisan pun tidak keluar.
Rasa lapar menjerat dengan kejam. Perut mereka kempis, bibir pecah-pecah, dan kulit semakin pucat. Situasi ini tidak datang begitu saja. Perang panjang, blokade bantuan, dan minimnya akses pangan membentuk rantai penderitaan yang menghancurkan masa depan anak-anak Gaza.
Hari demi hari, makanan semakin sulit dicari. Roti yang dulu sederhana kini berubah menjadi barang mewah. Susu bubuk menghilang dari pasaran. Buah dan sayur lenyap dari meja makan. Anak-anak harus puas hanya dengan seteguk air yang juga tidak selalu bersih.
Orang tua mencoba mencari jalan keluar. Mereka menukar barang berharga dengan segenggam tepung. Mereka berlari ke pos bantuan, namun sering pulang dengan tangan kosong. Ketika makanan benar-benar tidak tersedia, anak-anak hanya bisa terbaring, menatap atap tenda, dan menunggu dengan sabar.
Biasanya, bayi akan menangis ketika lapar. Namun di Gaza, banyak bayi sudah kehabisan tenaga. Mereka tidak lagi mampu menangis. Tubuh lemah mereka hanya menggeliat pelan. Situasi ini menggores hati siapa pun yang melihat.
Dokter di lapangan menyampaikan bahwa dehidrasi parah membuat suara anak-anak hilang. Otot melemah, air mata kering, dan energi menguap. Akibatnya, mereka hanya bisa menatap kosong, seolah menyerah pada keadaan. Fenomena ini menunjukkan betapa kelaparan sudah mencapai titik paling menyakitkan.
Di tenda-tenda pengungsian, para orang tua menundukkan wajah. Mereka merasa gagal melindungi buah hati. Setiap kali melihat anaknya terkulai, hati mereka hancur. Namun mereka tetap berusaha. Mereka menggendong, mereka menimang, mereka mencoba menenangkan dengan doa.
Kondisi ini membuat banyak orang tua putus asa. Mereka berulang kali berjalan jauh mencari bantuan. Mereka mengantre berjam-jam dengan harapan kecil. Namun kenyataan pahit terus menampar: makanan tidak mencukupi. Situasi ini menekan mental mereka hingga nyaris runtuh.
Rumah sakit di Gaza tidak lagi hanya merawat korban serangan. Ruang-ruang darurat kini dipenuhi anak-anak kelaparan. Perawat berlari ke sana kemari dengan persediaan yang sangat terbatas. Dokter menghadapi dilema berat. Mereka ingin menolong semua pasien, namun obat, cairan, dan susu medis nyaris habis.
Setiap ranjang menampilkan cerita pilu. Ada bayi yang tidak bisa bergerak. Ada balita yang menatap kosong. Semua kisah itu mencerminkan satu hal: kelaparan menggerogoti generasi masa depan Gaza.
Sebelum perang, sekolah-sekolah di Gaza penuh suara. Anak-anak belajar membaca, menulis, dan bercita-cita. Namun kini, kelas menjadi sepi. Banyak anak tidak lagi bisa datang karena tubuh mereka terlalu lemah. Guru hanya bisa menangis melihat bangku kosong.
Anak-anak yang masih mampu datang pun sulit berkonsentrasi. Pikiran mereka tidak tertuju pada pelajaran, melainkan pada perut yang keroncongan. Bagaimana bisa mereka belajar jika energi habis hanya untuk bertahan hidup? Situasi ini memperlihatkan bagaimana perang menghancurkan bukan hanya tubuh, tetapi juga masa depan.
Organisasi kemanusiaan berusaha menyalurkan bantuan. Truk-truk membawa tepung, susu, dan obat-obatan. Namun akses sering terhalang. Blokade, pemeriksaan panjang, hingga serangan membuat distribusi terhenti. Akibatnya, makanan tidak pernah cukup untuk semua orang.
Relawan yang berhasil masuk pun menghadapi tantangan besar. Mereka harus memutuskan siapa yang mendapat bantuan lebih dulu. Pilihan itu sangat menyakitkan. Ketika satu anak menerima susu, anak lain tetap menangis menahan lapar.
Di sebuah pengungsian, seorang ibu muda bernama Mariam menggendong bayinya yang berusia delapan bulan. Bayi itu tidak lagi menangis. Bibirnya kering, matanya sayu, tubuhnya sangat kurus. Mariam berkata, “Aku ingin mendengar dia menangis, karena itu tanda dia masih kuat. Sekarang dia hanya diam, dan aku sangat takut.”
Cerita lain datang dari seorang bocah bernama Ahmed. Usianya baru tujuh tahun, tetapi tubuhnya hanya seberat anak berusia empat tahun. Dia berkata kepada relawan, “Aku tidak ingin main bola. Aku hanya ingin makan.” Kalimat sederhana itu menghantam hati siapa pun yang mendengarnya.
Kelaparan bukan hanya menghantam tubuh, tetapi juga meninggalkan luka psikologis. Anak-anak Gaza tumbuh dengan trauma. Mereka melihat keluarga kehilangan rumah. Mereka menyaksikan teman meninggal. Trauma itu bisa melekat seumur hidup.
Psikolog mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan cenderung kehilangan semangat. Mereka sulit percaya pada masa depan. Mereka bahkan berhenti bermimpi. Jika kondisi ini berlanjut, generasi Gaza akan kehilangan harapan.
Situasi Gaza seharusnya menggugah nurani dunia. Setiap anak berhak makan, bermain, dan tumbuh sehat. Namun di Gaza, hak itu dirampas. Dunia tidak boleh menutup mata. Suara harus bersatu. Tekanan harus meningkat agar akses bantuan terbuka.
Organisasi internasional perlu bergerak lebih cepat. Negara-negara harus mengirim suplai makanan lebih banyak. Media harus terus menyoroti kondisi ini agar perhatian publik tidak padam. Karena jika dunia diam, anak-anak Gaza akan terus terjebak dalam lingkaran kelaparan.
Meski situasi sangat kelam, harapan belum benar-benar padam. Beberapa organisasi berhasil membawa makanan. Relawan lokal tetap berjuang meski nyawa terancam. Mereka berjalan ke tenda-tenda, membagikan roti, memberikan susu, dan menguatkan hati anak-anak.
Ketika seorang anak menerima seteguk susu, wajahnya kembali berseri walau sebentar. Ketika seorang bocah mendapat roti, senyumnya muncul lagi. Momen kecil itu menjadi cahaya di tengah gelap. Harapan itu harus diperbesar.
Anak-anak Gaza tidak memiliki suara lantang. Namun tatapan mereka berbicara banyak. Tubuh kurus mereka berteriak meski tanpa kata. Dunia harus mendengarkan. Dunia harus bergerak.
Setiap orang bisa berperan. Masyarakat bisa berdonasi, bisa menyebarkan informasi, bisa menekan pemerintah agar peduli. Setiap langkah, sekecil apa pun, bisa menyelamatkan nyawa anak-anak Gaza.
Pilu anak-anak Gaza adalah tragedi kemanusiaan. Mereka kelaparan hingga tak bisa menangis. Mereka kehilangan masa kecil, kehilangan harapan, dan hampir kehilangan masa depan. Namun mereka masih bertahan. Mereka masih menunggu uluran tangan dunia.
Kita tidak boleh membiarkan mereka sendirian. Setiap orang memiliki tanggung jawab moral. Karena ketika satu anak tertolong, dunia menjadi lebih manusiawi. Gaza membutuhkan perhatian, dan anak-anak Gaza membutuhkan kehidupan yang layak.
Baca Juga : Korban Tewas Serangan Israel ke Yaman Bertambah Jadi 6 Orang, 86 Luka
https://shorturl.fm/0SfbX
https://shorturl.fm/fWC1a
https://shorturl.fm/GHiVJ
https://shorturl.fm/OWheX
https://shorturl.fm/uveaG