Sebuah kabar duka kembali mengguncang warga Bantul, Yogyakarta. Seorang pria ditemukan tak bernyawa di dalam rumah kontrakannya. Yang lebih mengiris, pria tersebut meninggalkan sepucuk surat berisi pamit kepada keluarga dan teman-teman terdekatnya. Surat itu menyiratkan keputusan terakhirnya—mengakhiri hidup.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus bunuh diri di Indonesia, sekaligus membuka kembali perbincangan mengenai tekanan psikologis, beban ekonomi, dan kurangnya ruang aman untuk bercerita.
Pada Senin pagi (9 Juni 2025), warga Dusun Kasihan, Bantul, merasa curiga karena tetangga mereka, pria berinisial AG (31), tidak terlihat sejak malam sebelumnya. Seorang pemilik warung yang biasa menerima pesanan dari AG memutuskan mengetuk pintu rumah kontrakan pria tersebut. Namun, tidak ada jawaban.
Tak tinggal diam, warga kemudian menghubungi pemilik kontrakan. Bersama beberapa tetangga, mereka mendobrak pintu dan menemukan tubuh AG tergeletak tanpa nyawa di ruang tengah. Di samping tubuhnya, mereka menemukan satu lembar surat tangan bertuliskan permintaan maaf.
Polisi yang datang ke lokasi langsung melakukan olah TKP. Mereka juga mengamankan barang bukti, termasuk surat pamit dan botol berisi cairan yang diduga racun.
Dalam surat tersebut, AG menuliskan alasan keputusannya. Ia merasa hidupnya terlalu berat. Ia mengaku gagal memberi kebahagiaan pada keluarganya dan merasa kehilangan arah hidup.
“Maaf kalau aku jadi beban… Aku sudah mencoba bertahan, tapi lelahku tak lagi bisa aku sembunyikan,” tulis AG dalam suratnya.
Kalimat demi kalimat dalam surat itu memotret rasa putus asa yang dalam. Ia tidak menyalahkan siapa pun. Justru, ia meminta keluarganya untuk tidak menyesali kepergiannya.
Tetangga mengenal AG sebagai pria pendiam namun ramah. Ia bekerja sebagai penjaga toko alat teknik di sekitar Kota Yogyakarta. Meski penghasilannya pas-pasan, ia jarang mengeluh.
Namun, beberapa minggu terakhir, warga mulai menyadari perubahan dalam dirinya. AG terlihat sering termenung dan lebih banyak mengurung diri di rumah. Bahkan, pemilik toko tempatnya bekerja mengatakan bahwa AG sempat mengajukan cuti tanpa menjelaskan alasan.
Teman dekatnya, Rian, menyebutkan bahwa AG sempat bercerita tentang tekanan ekonomi dan kegagalan dalam hubungan asmaranya. Namun, Rian tak pernah menyangka temannya akan memilih jalan tragis itu.
Kasus AG seharusnya menjadi pengingat bahwa banyak orang menyimpan luka dalam diam. Tanda-tanda depresi tidak selalu terlihat secara gamblang. Kadang, senyum dan candaan hanyalah topeng yang menyembunyikan kesedihan yang dalam.
Banyak korban bunuh diri meninggalkan “jejak sunyi” yang luput dari perhatian orang terdekat. Mulai dari perubahan pola tidur, hilangnya minat terhadap hal yang dulu mereka sukai, hingga munculnya ucapan seperti “lebih baik aku pergi”.
Karena itu, penting bagi lingkungan sekitar untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku seseorang. Bukan untuk mencampuri, melainkan untuk hadir dan memberi ruang aman bagi mereka.
Keluarga AG menerima kenyataan ini dengan syok dan duka yang mendalam. Ayahnya, yang datang dari kampung di Sleman, hanya bisa menangis saat membaca surat anaknya. Ia mengaku tidak pernah menyangka AG menyimpan tekanan seberat itu.
Pemerintah setempat, bersama aparat desa, langsung melakukan pendampingan terhadap keluarga korban. Mereka juga merencanakan penyuluhan kesehatan mental dalam waktu dekat. Hal ini bertujuan untuk mencegah kasus serupa terjadi lagi.
Tokoh masyarakat pun angkat bicara. Mereka mendorong agar semua warga, khususnya anak muda, tidak merasa malu untuk mencari bantuan saat menghadapi tekanan psikologis.
Meski kesadaran publik terhadap isu kesehatan mental mulai meningkat, stigma masih sangat kuat. Banyak orang merasa takut dianggap lemah bila mengaku sedang depresi. Bahkan, tidak sedikit yang khawatir kehilangan pekerjaan jika ketahuan berkonsultasi dengan psikolog.
Akibatnya, banyak penderita depresi memilih diam. Mereka terus menjalani hidup dalam tekanan tanpa outlet yang aman. Sementara itu, akses terhadap layanan psikologis masih tergolong mahal dan terbatas, khususnya di daerah-daerah pinggiran.
Kasus AG mengingatkan bahwa bunuh diri bukanlah tindakan impulsif semata. Ia merupakan hasil dari akumulasi rasa lelah, hampa, dan kehilangan harapan yang berlangsung lama. Jika kita tidak segera menormalisasi diskusi tentang mental health, maka tragedi serupa akan terus berulang.
Pencegahan bunuh diri tidak bisa hanya dibebankan pada individu. Lingkungan sosial memegang peran besar. Keluarga, teman, komunitas, hingga pemerintah harus membentuk jejaring empati.
Kita perlu mulai dari langkah kecil: mendengarkan tanpa menghakimi. Bertanya dengan tulus, “Apa kabar?” dan benar-benar menunggu jawabannya. Menyediakan ruang aman untuk bercerita bisa menyelamatkan nyawa.
Selain itu, institusi pendidikan dan tempat kerja harus menyediakan layanan konseling dan pelatihan tentang literasi emosi. Saat semua pihak bergerak, ruang untuk harapan akan terbuka lebih luas.
Kisah AG bukan sekadar berita tragis dari Bantul. Ia adalah cermin yang memantulkan kenyataan banyak orang—mereka yang terus bertahan meski terluka dalam diam. Ketika seseorang mengakhiri hidupnya, ia tak selalu ingin mati. Seringkali, ia hanya ingin lepas dari rasa sakit yang tak tertanggungkan.
Oleh karena itu, mari buka mata, mari peka, dan mari hadir. Karena satu kalimat empati bisa menjadi jembatan dari gelap menuju terang.
Baca Juga: BSU BPJS Ketenagakerjaan Cair Pekan Ini
Join our affiliate community and earn more—register now! https://shorturl.fm/1T5FM
Get started instantly—earn on every referral you make! https://shorturl.fm/8u7AQ
https://shorturl.fm/GPJV8
https://shorturl.fm/U2WYN
https://shorturl.fm/MqV6G
https://shorturl.fm/27ZAE
https://shorturl.fm/rnNYz
https://shorturl.fm/x0FIL
https://shorturl.fm/KIKGO
https://shorturl.fm/qSvp8
https://shorturl.fm/lQiiK
https://shorturl.fm/YxXCL
https://shorturl.fm/l49zp
https://shorturl.fm/Y3hdK